Terima kasih kepada para mubaligh yang secara spontan mengagetkan saya dengan melontarkan kata “Syubhat !!”, “Eeh kaget!! “. Syubhat sen...

ABU-ABU MENYERBU

 

 

Terima kasih kepada para mubaligh yang secara spontan mengagetkan saya dengan melontarkan kata “Syubhat !!”, “Eeh kaget!! “. Syubhat sendiri ternyata artinya adalah keadaan yang abu-abu, yang tidak jelas antara perbuatan dosa dan kebaikan. Hal ini seringkali dilontarkan oleh para oknum mubaligh kepada umat Islam yang (biasanya) berprofesi sebagai seniman dan bankir. Mendengar kata itu awalnya saya terkejut tetapi setelah saya melamun, sebenarnya  sejak kita sholat pertama kali bukankah itu sudah termasuk syubhat? Dan itu mengapa muncul ayat “celakalah orang yang sholat” (Al Ma’un: 4) maka dari itu ketika profesi musik, bankir, dll disebut syubhat, seharusnya bukan menjadi hal yang menakutkan atau ditakutkan, tetapi harus tetap dijalani dengan benar karena itulah sunnatullah dalam menjalani hidup.

 

Beberapa waktu lalu bahkan ada daftar profesi-profesi yang diharamkan oleh oknum mubaligh yang tersebar melalui internet, entah itu hanya hoaks atau serius? Tetapi yang jelas menimbulkan kehebohan. Ketika beberapa mubaligh memerintahkan para pekerja yang memiliki kompetensi atau bakat di bidangnya untuk hijrah (keluar dari profesi), ini justru menjadi berbahaya karena membuat umat muslim tidak bisa mengembangkan keahlian di bidangnya, bahkan bisa dibilang ini adalah bentuk lari dari sunnatullah.

 

Saran saya beberapa mubaligh itu harus berpikir lebih efektif dan produktif, memang benar masih ada unsur riba dalam profesi bankir, tetapi profesi bankir masih sangat melekat dalam kehidupan umat manusia tidak terkecuali umat Islam. Dan ini sudah menjadi sebuah sistem yang ada di seluruh dunia. Keluar dalam lingkaran profesi bankir juga tidak membuat umat muslim berjaya atau mengalahkan kaum kafir, justru kita sendiri yang akan merugi karena tidak bisa mengikuti perkembangan ilmu dalam profesi ini, apalagi mau mengubah sistem yang penuh riba ? masih terlalu jauh.

 

Begitu juga dengan musik yang masih melekat dalam lika liku kehidupan kita, saya masih ingat Buku “Dimensi Mistik Musik & Bunyi” karya Hazrat Inayat Khan. Dalam buku itu dijelaskan bahwa musik sebagai awal dan akhir kehidupan semesta alam, karena seluruh manifestasinya merupakan fenomena bunyi, karena segala sesuatu dibuat dengan kekuatan bunyi, dan vibrasi. Dalam injil ada pernyataan bahwa yang pertama-tama adalah kata, kemudian muncul cahaya. Lalu al quran dalam kaitan ini mengatakan ‘Kun Fayakun’ “jadilah, maka jadilah ia”. Dengan kata lain dari dunia suara muncul dunia bentuk. Karena itu orang Hindu menyebutnya Nada Brahma, Suara Dewa, Sang Pencipta. Dan yang terakhir kekuatan perusak yaitu tiupan sangkakala terakhir melambangkan kekuatan perusak dari suara itu.

 

Ditambah  lagi dalam Buku Islam & Seni karya Yusuf Qardhawi, seorang mujtahid (ahli tafsir) dan juga tokoh Ikhwanul Muslimin berkata bahwa “tidak pernah ditemukan satu hadis pun tentang keharaman musik yang sanad-nya langsung naik kepada Rasulullah SAW”. Dalam buku tersebut dijelaskan “Al Qadhi Abu Bakar ibn al-Arabi dalam Al-Ahkam mengatakan bahwa tidak sah mengharamkan lagu/musik sedikitpun. Demikian juga menurut Al-Ghazali dan Ibn-Nahwi dalam Al-Umdah”.

 

Dalam profesi seni ada baiknya mubaligh ikut belajar dan menikmati kesenian agar bisa menikmati keindahan-keindahan yang tak kasat mata, menikmati suara indah sebagai bentuk naluri alami manusia. Mendekatkan diri kepada Tuhan melalui rasa akan lebih elegan daripada mendekat karena dipaksa.

 

Kita sudah tertinggal dalam hal kualitas sumber daya manusia, ditambah lagi dengan serbuan fatwa kepada profesi yang dianggap “abu-abu” itu. Jangan disangkal dengan pembenaran “semua akan diganti dengan yang lebih baik oleh Allah SWT bila kita berada di jalan Allah” bagaimana mau dibalas dengan yang lebih baik jika jalannya sendiri difatwa haram? karena setiap profesi (yang tidak melanggar hukum) adalah sunatullah dalam realita menjalani hidup. Lagipula pekerjaan apa yang yang murni dan bersih dari syubhat? Rasanya kita tidak pernah bisa menghindar dari hal yang syubhat, bahkan sholat saja bisa menjadi syubhat. Kita semua tau bahwa al quran dan dana haji pernah dikorupsi, padahal oknum tersebut berada dalam profesi yang “cerah” dari segi kemapanan finansial dan norma sosial.

 

Sudah menjadi tugas besar para mubaligh untuk bisa menjaga umatnya agar tetap berada di jalan-Nya. Lebih spesifik lagi, dakwah yang tepat bagi para bankir dan pejabat adalah tentang anti korupsi, makan gaji buta, dan memanfaatkan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi. Saya rasa itu lebih berhubungan dengan masalah kita saat ini, daripada dakwah yang menganjurkan umatnya untuk lari dari profesi bankir karena riba. Yang sebenarnya hanya lari dari satu masalah menuju ke masalah baru yang lebih banyak.

 

Berfatwa melalui konstruksi pola pikir yang runut adalah upaya untuk menolong Agama Allah, seperti yang tertera dalam ayat ini, "Hai orang-orang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, pasti Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu." (QS Muhammad: 7). Maka dari itu Agama Allah harus ditolong dengan meningkatkan potensi dan bakat umat Islam itu sendiri, biar ga malu-maluin.

0 comments: