Saya selalu senang membaca tulisan nonfiksi, apalagi yang
bersifat sejarah. Karena ibarat menjelajahi mesin waktu, kita
bisa belajar dari masa lalu. Yang nampaknya jarang kita sadari bahwa, ternyata di
masa lalu dan masa sekarang hanya seperti roda yang berputar. Kisah-kisah serta
tokoh-tokoh di masa lalu akan kembali muncul di masa modern dengan gaya dan
sudut pandang yang berbeda.
Pada tahun 60-an, masalah-masalah politik Indonesia tidak
jauh berbeda dengan masa sekarang. Pada saat itu, Gie menulis sebuah puisi yang
berisi:
"Saya mimpi tentang sebuah dunia, dimana ulama, buruh,
dan pemuda, bangkit dan berkata: stop semua kemunafikan, stop semua pembunuhan
atas nama apapun. Dan melupakan perang dan kebencian dan hanya sibuk dengan
pembangunan dunia, yang lebih baik".
Mirip bukan? Pada tahun 2017 gejolak politik di Indonesia
juga masih didominasi oleh tokoh-tokoh dan konflik-konflik yang disebutkan
dalam puisi Gie di atas. Kita tidak pernah beranjak rupanya, atau malah semakin
memburuk? Entahlah.
Gie menyatakan bahwa ia adalah manusia yang tidak percaya
pada slogan. Patriotisme tidak akan tumbuh dari hipokrasi dan slogan-slogan.
Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat bila mengenal objeknya.
Yaa saya pun sependapat dengan Gie, slogan-slogan paling hits di masa modern ini mungkin tertuju pada slogan “Cintailah Produk-Produk Indonesia”. Dalam hal ini mencintai produk-produk Indonesia juga harus dengan standar kualitas yang memang bisa bersaing dengan dunia, bukan sekedar “Produk Indonesia”.
Yaa saya pun sependapat dengan Gie, slogan-slogan paling hits di masa modern ini mungkin tertuju pada slogan “Cintailah Produk-Produk Indonesia”. Dalam hal ini mencintai produk-produk Indonesia juga harus dengan standar kualitas yang memang bisa bersaing dengan dunia, bukan sekedar “Produk Indonesia”.
Mungkin berkat bantuan sosial media, dengan sekejap kita
bisa memuji habis-habisan karya-karya seni Indonesia yang mendunia, lengkap
dengan hashtagnya #BanggaJadiIndonesia.
Tetapi setelah itu apa yang kita (termasuk saya) lakukan? Semoga tidak hanya berhenti hanya pada puji-pujiannya saja yaa, tetapi juga disupport dengan contoh membeli merchandise atau CD Album/apapun hasil karya mereka, jangan culas dengan hanya membeli karya bajakannya.
Tetapi setelah itu apa yang kita (termasuk saya) lakukan? Semoga tidak hanya berhenti hanya pada puji-pujiannya saja yaa, tetapi juga disupport dengan contoh membeli merchandise atau CD Album/apapun hasil karya mereka, jangan culas dengan hanya membeli karya bajakannya.
Gie bermimpi bahwa di
masa depan, Universitas akan mendapat kebebasan mimbarnya kembali. Seorang
dosen yang Marxis akan ditantang oleh mahasiswa-mahasiswa dengan dengan
literatur-literatur yang non bahkan anti-Marxisme. Dan seorang dosen yang
anti-komunis, akan dihujani pertanyaan-pertanyaan bersumber pada buku komunis
yang dibaca oleh mahasiswa dalam perpustakaan Universitas.
Barangkali mimpi Gie yang satu ini juga semakin sulit
terwujud, tahun 2017 justru kita semakin terasing oleh perbedaan-perbedaan. Semuanya menjadi ekstrim kanan dan ekstrim kiri dan yang memilih untuk tak pada
keduanya dianggap tidak memiliki pendirian.
Masalah-masalah dalam kemahasiswaan pada bab ini membuat saya merasa cukup
relate dengan apa yang Gie keluh kesahkan. Barangkali saya memiliki pengalaman
yang lebih kelam dari Gie, lebih buruk dari guru yang otoriter, lebih buruk
dari pengajar yang tidak peduli terhadap murid-muridnya dan lebih buruk dari
guru yang tidak kompeten.
Nanti saya akan publish tentang kisah itu dengan judul “Mengabdi Menjadi Murid” pada saat yang tepat suatu hari nanti
: )
Nanti saya akan publish tentang kisah itu dengan judul “Mengabdi Menjadi Murid” pada saat yang tepat suatu hari nanti
: )
Membahas masalah tirani para dosen, Gie mengutip kata-kata
rekan seperjuangannya, M.T. Zen:
"Hanya mereka yang berani menuntut hak-haknya, pantas
diberi keadilan. Biarlah mereka ditindas sampai akhir zaman oleh dosen-dosen
korup mereka".
Pada bagian Awal Dan Akhir, Gie menceritakan pengalaman
pertama kali ia membaca buku.
Buku pertama yang ia baca adalah buku biografi Karl Marx dan kebetulan buku itu berbentuk komik. Kemudian ia melanjutkan dengan membaca Manifesto Komunis, sastra dari negara-negara komunis dan segala macam buku.
Dari bacaan-bacaan itulah Gie berpendapat bahwa hidup ini tidaklah hitam putih, tetapi kelabu. Tetapi menurut saya saat ini hidup juga bukan kelabu tetapi penuh warna, paradoks di dalam paradoks.
Buku pertama yang ia baca adalah buku biografi Karl Marx dan kebetulan buku itu berbentuk komik. Kemudian ia melanjutkan dengan membaca Manifesto Komunis, sastra dari negara-negara komunis dan segala macam buku.
Dari bacaan-bacaan itulah Gie berpendapat bahwa hidup ini tidaklah hitam putih, tetapi kelabu. Tetapi menurut saya saat ini hidup juga bukan kelabu tetapi penuh warna, paradoks di dalam paradoks.
ZAMAN PERALIHAN
Soe Hok Gie
Penyunting
Stanley dan Aris Santoso
Penerbit
MATABANGSA
0 comments: